Dewasa ini perkembangan mengenai tata cara berpakaian semakin pesat dan bervariasi. Setiap saat dan setiap waktu ada saja keluar mode-mode pakaian terbaru yang di tawarkan kepada konsumen. Hal ini tidak terkecuali bagi masyarakat yang berada di Banua ini. Arus globalisasi yang masuk ke Banua ini, secara tidak langsung juga mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memilih dan menerima produk-produk dari hasil modernisasi pembangunan. Dalam hal berpakaian saja misalnya banyak terjadi perubahan yang drastis di masyarakat. Masyarakat tidak lagi terpaku kepada produk-produk hasil budaya yang nobenenya berasal dari daerahnya sendiri. Secara historis kita sebenarnya memiliki hasil kebudayaan yang tinggi, lebih tepatnya mengacu kepada suatu istilah khusus yakni local genius atau kearifan lokal yang dari turun temurun diwariskan oleh orang-orang terdahulu kita. Salah satu produk yang merupakan aset daerah ini yang perlu kita kembangkan dan lestarikan adalah kerajinan kain Sasirangan yang saat ini kita perlu tanyakan keberadaannya kepada masyarakat di Banua kita yang tercinta ini. Benar sekali kerajinan kain Sasirangan merupakan hasil dari buah pemikiran masyarakat Banjar yang secara fundamental di apresiasikan menjadi produk yang memiliki nilai kultural. Kerajinan kain Sasirangan asal mulanya adalah kain yang merupakan suatu kepercayaan untuk kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit. Pada waktu dulu selain di pakai untuk orang yang sedang sakit, kain ini pun di pakai pada upacara adat suku Banjar baik untuk kalangan rakyat biasa mupun keturunan para bangsawan. Kain Sasirangan pada masa itu mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat Banjar. Namun, apabila kita tanyakan wacana tersebut pada masa sekarang apakah apakah hal itu masih tepat?. Pada masa sekarang pengaruh kebudayaan asing makin terasa kepada kita. Hal ini disebabkan karena kita sering melakukan kontak langsung melalui mass media seperti televisi, radio, internet dan lain-lain. Akibatnya apresiasi masyarakat terhadap produk budaya tradisional yang telah di ekspos semakin berkurang bahkan memudar.
Masuknya pengaruh dari budaya luar (asing) baik dari daerah lain maupun yang berasal dari Indonesia, yang membawa dan menghasilkan produk-produk budaya baru turut mempengaruhi turun-naiknya kepopularitasan kerajinan kain Sasirangan sendiri. Akibatnya masyarakat mulai tersugesti mengikuti perkembangan trend-trend terbaru dari cara berpakaian. Hal ini dapat kita lihat perbandingannya yakni hanya para generasi tua yang masih mempergunakan kain Sasirangan, itupun hanya pada event-event tertentu seperti di pakai pada saat acara perkawinan saja, acara-acara kantor, peringatan hari-hari tertentu, dan lain sebagainya. Satu pertanyaan yang perlu kita lontarkan yakni bagaimana respon generasi muda dalam memaknai eksistensi kerajinan kain Sasirangan ini sendiri?. Mungkin di kalangan generasi muda beranggapan bahwa model yang di tawarkan tidak mencerminkan stylish yang modern, tidak gaul, dan tidak berkiblat pada perkembangan zaman alias ketinggalan zaman atau istilah gaulnya zadul (baca: zaman dulu) banget. Khususnya pada lingkungan remaja, mereka tidak merasa mempunyai tanggung jawab dan tidak merasa mendapatkan manfaat dari produk budaya tradisional tersebut. Sehingga dampaknya para remaja semakin menjauh dan merasa asing terhadap budaya yang dihasilkan nenek moyangnya sendiri, dan mereka lebih dekat kepada hasil budaya bangsa asing (Barat). Walaupun pada kenyataannya begitu, ada beberapa sekolah di Banjarmasin yang menganjurkan siswa-siswinya untuk wajib memakai busana Sasirangan pada hari tertentu saja. Namun dari segi pemahaman berpikir apakah mereka menyadari dan memaknai busana Sasirangan yang mereka pakai tersebut?. Menurut hemat saya, agar popularitas kain Sasirangan ini tetap terjaga sampai anak cucu kita di perlukan suatu gebrakan-gebrakan baru dalam hal memodifikasi kain Sasirangan ini kebentuk yang lebih baik dan menarik lagi serta di sesuaikan dengan mode-mode terbaru. Dibutuhkan kreatifitas yang tinggi dari pengrajin kain Sasirangan di Kalimantan Selatan, sekaligus memotivasi mereka agar produk kain Sasirangan ini dapat kita bawa ke tingkat nasional dan dapat bersaing dengan produk-produk dari daerah lain. Bandingkan saja dengan produk Batik Yogya yang gaungnya kedengaran hingga ke mancanegara. Kemudian di daerah lain tepatnya di Palembang juga memiliki kerajinan kain yang bentuk dan motifnya rada-rada mirip kain Sasirangan. Bisa saja mereka nantinya mengklaim bahwa produknya tersebut merupakan hasil dari budaya mereka, dan daerah kita dianggap menjiplak budaya daerahnya. Apakah kita mau hal itu sampai terjadi?. Jawabnya tentu saja tidak ! Kalau hal itu terjadi bisa-bisa identitas budaya daerah kita akan kehilangan jati dirinya. Untuk megatasi permasalahan di atas tentu saja di perlukan keterlibatan di dalam komponen masyarakat agar lebih mensosialisasikan poduk-produk daerahnya sendiri ketimbang mereka hanya menerima produk-produk instan dari pengaruh budaya modernisasi. Kita hendaknya bangga terhadap produk buatan daerah sendiri, karena secara rill kita dapat membentuk identitas budaya sendiri di tengah pluralitas di dalam masyarakat. Apabila kita dapat menghargai hasil kebudayaan daerah kita sendiri, secara langsung kita berpartisipasi dalam proses pewarisan budaya. Selain itu mentalitas kita sebagai masyarakat Banjar dapat terjaga dengan baik pula. Pada dasarnya di perlukan kerja sama antara pihak pengusaha atau pengrajin kain Sasirangan ini dengan pihak pemerintah daerah Kalimantan sendiri dalam membantu dan memberdayakan kerajinan kain Sasirangan ini ke tingkat yang lebih baik lagi, bahkan dapat berbicara pada tingkat nasional maupun ke mancanegara. Pemerintah hendaknya dapat lebih peka terhadap keberadaan pengrajin kain Sasirangan ini, khususnya pengrajin yang masih menggunakan peralatan tradisional dalam pengerjaan kain Sasirangan. Selain itu sebagian besar pengrajin tradisional tersebut terkendala pada masalah modal dan kesulitan memasarkan produknya, sehingga juga berpengaruh terhadap kualitas kain Sasirangan itu sendiri. Hendaknya kita sebagai orang yang bermukim di Banua ini mengingatkan kepada generasi muda akan pentingnya menghargai dan merefleksikan apa-apa yang telah dihasilkan orang-orang terdahulu kita, yang telah menciptakan suatu peninggalan budaya asli di bumi Kalimantan Selatan. Kita seharusnya malu karena nilai-nilai tradisi budaya sendiri dilupakan akibat modernisasi. Modernisasi boleh-boleh saja diterapakan asalkan tidak melupakan aspek-aspek cultural yang merupakan pembentuk identitas masyarakat Banjar khususnya dan integritas daerah Kalimantan Selatan umumnya. Apabila di dalam masyarakat telah melupakan budayanya sendiri, lalu peninggalan apa yang kita perlihatkan kepada anak cucu kita kedepannya?. Jadi, hendaknya renungkanlah dengan bijak permasalahan tersebut di atas, dan apa salahnya kita mencoba menghargai serta beralih kepada peninggalan warisan budaya nenek moyang terdahalu???.
1 komentar:
bang izin repost pernyataanya ya
Posting Komentar