Sudahkah Kamu Bergabung Di Komunitas Pak Rizky? [View|Join Now]

4.26.2008

Revolusi Dalam Pertanian Indonesia

. 4.26.2008

1. Pengantar
Revolusi hijau telah melanda pertanian pangan Asia selama tiga dekade yang lalu. Keberhasilannya secara umum diukur dalam segi produktivitas tanah, terutama hasil beras kotor per hektar panenan. Indonesia bukanlah kekecualian dalam perubahan-perubahan dramatis ini. Hasil beras per hektar yang lama mandeg, meningkat selama decade-dekade belakangan ini.
Kemandekan panjang hasil beras di pulau Jawa yang menjadi pusatnya di Indonesia diartikan sebagai indikasi kemandekan dalam pendapatan pedesaan per kapita. Beras selalu menjadi tanaman pangan utama di Indonesia yang mungkin menjadi sebuah alasan bahwa produktivitas beras per kapita digunakan sebagai indikator pendapatan pedesaan, dan yang paling penting menunjukkan fakta bahwa bukan produktivitas tenaga kerja yang merupakan faktor kunci proses pembangunan ekonomi.

2. Model Dua Sektor Ekonomi
Transformasi struktur produksi dan pekerjaan merupakan dua fakta yang disesuaikan dengan model paling dasar dalam pertumbuhan ekonomi. Selama proses ini bagian pertanian dalam total produksi dan pekerjaan menurun. Dalam ekonomi tertutup hal ini dapat dijelaskan pada sisi permintaan dalam hukum Engel. Hukum ini menyatakan bahwa ketika pendapatan meningkat, individu atau rumah tangga akan membelanjakan bagian pendapatan yang semakin menurun untuk pangan dan berbagai produk pertanian.
Hukum Engel juga menyatakan secara tidak langsung mengenai sisi penawaran ekonomi bahwa pendapatan rata-rata yang meningkat menyebabkan penurunan harga berbagai komoditas pertanian terhadap harga barang-barang non-pertanian dan jasa-jasa, disebabkan oleh penurunan dalam permintaan relatif produk pertanian, pendapatan rata-rata yang meningkat menyebabkan penurunan dasar penukaran pertanian. Langkah untuk membuang tenaga kerja dan modal akan bergantung pada perbedaan dalam hasil marjinal atau biaya peluang sumber daya produktif yang digunakan dalam pertanian.

3. Produktivitas Tenaga Kerja dalam Pertanian Indonesia dan Kemandekan Ekonomi
Berdasarkan grafik nilai tambah kotor (GVA) per tenaga kerja pada tahun 1880-1990, menujukkan bahwa terdapat perbedaan antara pulau Jawa sebagai inti Indonesia dengan semua pulau luar Jawa secara bersama-sama dan antara total produksi pertanian dengan hanya produksi produksi pangan. Secara statistik berbagai perkiraan produksi pangan di luar Jawa didasarkan pada angka perkiraan hingga 1952 yang diperoleh dari asumsi-asumsi mengenai rata-rata konsumsi pangan dan pertumbuhan penduduk. Sementara itu, data mengenai produksi pangan di Jawa mempunyai dasar statistik jauh lebih kuat. Secara demografis kepadatan penduduk di Jawa selalu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau luar Jawa. Hal ini mempunyai konsekuensi signifikan bagi pilihan produk dan tekhnologi produksi di setiap wilayah.
Alasan pembedaan antara ‘pertanian pangan’ dan total produksi pertanian adalah, ‘pertanian pangan’ dapat dianggap sebagai penyambung hidup. Ini mengingat bahwa perdagangan luar negeri Indonesia dalam produk-produk pangan selalu relatif lebih kecil dibandingkan dengan total produksi pangan. Hasil dari tanaman komersial dan tanaman perkebunan tidak semata-mata hanya untuk ekspor.
Berbagai perubahan jangka panjang dalam produktivitas tenaga kerja pertanian mungkin dipakai sebagai indikasi tingkat perubahan struktural dalam ekonomi Indonesia secara luas. Sampai tahun 1970 produktivitas tenaga kerja dalam pertanian pangan hanya berubah secara tipis dan tidak memperlihatkan beberapa kecenderungan dalam tiap arah. Patahan utama dalam rangkaian menyangkut tahun 1940-an dan sebagian besar sehubungan dengan dampak yang cukup penting pendudukan Jepang (tahun 1942-1945) dan Perang Kemerdekaan (tahun 1945-1949). Karakteristik yang utama dalam grafik adalah produktivitas tenaga kerja dalam pertanian pangan tidak meningkat sampai sesudah permulaan Revolusi Hijau dalam pertanian beras Indonesia. Kesenjangan produktivitas tenaga kerja melebar hanya sesudah tahun 1980, mungkin karena kemerosotan dalam keuntungan relatif produksi beras di luar Jawa. Pertumbuhan dan perubahan struktural dalam ekonomi Indonesia secara luas mengalami kemndekan sampai tahun 1970-an. Sebelum tahun 1970-an, 70-80% laki-laki atau perempuan berada dalam sektor pertanian. Perkiraan angka aktivitas menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dilaporkan terlampau rendah, khususnya pada tahun 1930 dan 1961. Tidak ada alasan berasumsi bahwa pekerjaan laki-laki dalam pertanian jauh lebih tinggi daripada 70-80% yang diindikasikan sebelum tahun 1970-an. Fernando memperkirakan bahwa 76,4% laki-laki Indonesia di Jawa bekerja dipertanian pada tahun 1880. Perkiraan jumlah total penduduk laki-laki di Jawa untuk tahun 1895, 1900 dan 1905 adalah 81-83%. Sebelum tahun 1970-an bagian pekerjaan di pertanian rupanya mandeg dalam tingkat yang tinggi, yang tidak menunjukkan perubahan-perubahan struktural utama dalam ekonomi secara luas.

4. Indikator-indikator Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Jawa sebelum Perang Dunia II sebagian besar berhubungan dengan pertumbuhan produksi tebu dan gula yang pesat, sama seperti kemandekan hingga tahun 1970, yang sebagian besar disebabkan oleh kematian produksi gula di Jawa. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pertanian di luar Jawa sebelum perang semata-mata hampir disebabkan oleh pertumbuhan produksi karet baik oleh perkebunan besar maupun rakyat, sama seperti kemandekan hingga tahun 1970 yang sebagian besar disebabkan kemandekan produksi karet. Kedua produk tersebut merupakan komoditas ekspor Indonesia yang utama sampai minyak tanah menggantikannya pada tahun 1970-an, yang diikuti barang-barang manufaktur pada tahun 1980-an.
Beberapa indikator tampak mempunyai makna ganda, misalnya penurunan besar-besaran sesudah perang dalam transportasi penumpang kereta api dan perahu menunjukkan kemerosotan ekonomi daripada kemajuan, yang dipengaruhi oleh pertumbuhan transportasi jalan dengan mesin bermotor. Akan tetapi secara keseluruhan berbagai indikator mendukung apa yang jelas dari perkiraan GDP: ekonomi Indonesia telah mengalami perubahan ekonomi dinamis selama lebih dari satu abad. Sebuah periodisasi yang luas mengindikasikan bahwa tahun 1900-1929 dan tahun 1970-1985 merupakan periode ekspansi ekonomi, sedangkan periode 1880-1900 dan 1929-1970 merupakan periode kemandekan. Periodisasi ini menyembunyikan perubahan-perubahan jangka pendek utama dalam tiap periode. Akan tetapi hal ini membantu menyanggah berbagai kesan bahwa pertumbuhan ekonomi per kapita mendekati nol sampai 1970-an.

5. Pendapatan Pertanian dan Pendapatan Pedesaan
Model dua sektor (bagian 2) memiliki dua kelemahan utama. Pertama model ini gagalmemperhitungkan aspek musiman tenaga kerja pertanian dan pentingnya pendapatan di luar pertanian untuk rumah tangga pertanian. Kedua, model ini mengabaikan interaksi antara ekonomi pasar dan ekonomi rumah tangga. Model dua sector tidak mempertimbangkan fakta bahwa produksi pertanian biasanya bukan merupakan satu-satunya kegiatan yang menentukan total pendapatan rumah tangga pertanian. Meskipun rumah tangga pertanian menempatkan basis mereka dalam produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, atau tanaman komersial untuk pasar, mereka juga terikat dengan beragam pekerjaan yang lain. Oleh karena itu sulit mengambil produktivitas tenaga kerja dalam pertanian sebagai indikator pendapatan rumah tangga pedesaan secara umum atau menilai spesialisasi tenaga kerja dan berbagai perubahan dalam struktur kedudukan dengan data pekerjaan pada tahap-tahap awal pembangunan.
Beberapa rumah tangga pertanian akan mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja yang ada dengan meningkatkan jam kerja per hektar tanah yang dapat ditanami agar memperluas produksi pertanian per tenaga kerja dan meningkatkan surplus yang dapat dipasarkan. Penanaman ganda tanah-tanah irigasi merupakan salah satu tekhnik yang menunjang peningkatan semacam itu. Hal ini mengindikasikan bahwa keputusan alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga pedesaan terkait dengan berbagai keadaan yang berubah serta peluang-peluang yang tumbuh dalam pasar. Perubahan demikian mempengaruhi keputusan untuk merealokasikan tenaga kerja bagi kegiatan yang menghasilkan surplus yang dapat dipasarkan. Dinilai berdasarkan situasi kontemporer di banyak negara berkembang, rumah tangga pertanian yang mencukupi kebutuhan sendiri pada umumnya bekerja penuh dalam produksi barang dan jasa lainnya untuk konsumsi oleh para anggota rumah tangga atau masyarakat lokal. Satu unsur utama yang diabaikan adalah pergeseran yang mungkin dari metode unggul dengan produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi, didasarkan pada pengkhususan produksi dan pertukaran barang-barang.

6. Pembahasan Berkurangnya Tenaga Kerja atau Realokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Pertanian
Dengan berkurangnya tenaga kerja, biaya peluang waktu senggang rendah untuk waktu yang lama, mengingat taraf perkembangan umum yang rendah. Tetapi peningkatan signifikan dalam persediaan pangan per kapita selama tahun 1900-1929 dapat dikaitkan dengan perluasan pekerjaan yang memerlukan masukan tenaga kerja fisik. Peningkatan persediaan pangan mungkin disebabkan oleh turunnya mobilisasi tenaga kerja dalam pekerjaan baik dalam ekonomi pasar maupun ekonomi rumah tangga pedesaan.
Berdasarkan data pada produktivitas dalam pertanian beras irigasi di Jawa tahun 1875-1992, menunjukkan bahwa terjadi perubahan-perubahan jangka panjang dalam masukan tenaga kerja pertanian padi menyangkut jam yang diperlukan per tanaman padi di Jawa. Walaupun terjadi penurunan masukan tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja tetap konstan selam periode kolonial dan mulai meningkat secara signifikan sesudah Perang Dunia II. Namun demikian pertumbuhan produktivitas tenaga kerja tidak mencukupi untuk mencegah penurunan produksi beras per kepala di Jawa sampai tahun 1970-an. Pertumbuhan produktivitas padi per jam kerja jelas dipercepat sesudah tahun 1970 dengan dasar peningkatan dalam rata-rata hasil padi. Hal yang penting adalah rumah tangga pertanian memakai perubahan yang tidak kentara untuk menghemat tenaga kerja dalam produksi, permanenan dan pemrosesan beras yang melebihi waktu. Sebagian besar tenaga kerja dalam produksi beras adalah tenaga kerja wanita yang berarti kaum wanita lah yang terutama mengalami akibat-akibat perubahan ini. Oleh karena itu masuk akal untuk menyimpulkan tenaga kerja wanita yang ada direalokasikan secara terus- menerus dalam rumah tangga pertanian dan barangkali dari rumah tangga ke ekonomi pasar.
7. Revolusi Hijau dan Produktivitas Tenaga Kerja dalam Pertanian Pangan
Faktor kunci yang perlu diingat bukanlah sukses tekhnologi Revolusi Hijau, fakta menunjukkan bahwa para petani memakai dan menggunakan varietas padi unggul, pupuk kimia dan pestisida, perbaikan berbagai fasilitas irigasi dan semacamnya. Faktor kuncinya adalah dengan dan secara besar-besaran Revolusi Hijau menjadi aktif secara ekonomis, bagi jumlah petani yang meningkat, guna memusatkan surplus produksi pada pertanian padi. Dalam beberapa hal terdapat bukti bahwa banyak petani tidak mempunyai pilihan mengenai partisipasi dalam program-program reintensifikasi beras. Namun, secara keseluruhan sulit menolak bahwa profitabilitas produksi beras meningkat di daerah-daerah irigasi yang paling cocok dengan tekhnologi baru.
Sebagian besar penggunaan tekhnologi beras yang baru secara besar-besaran dapat dijelaskan dengan pembiayaan pemerintah yang bertujuan memajukan produktivitas pertanian dan pendapatan pedesaan serta meningkatkan secara efektif profitabilitas produksi beras. Peningkatan dalam profitabilitas beras mungkin telah menyebabkan rumah tangga pertanian merealokasikan tenaga kerja, misalnya dari produksi tanaman komersial tradisional ke produksi beras sebagai tanaman komersial. Realokasi tenaga kerja tidak sepenuhnya merupakan pengalihan sumber daya tenaga kerja ke produksi beras karena kesenjangan antara produktivitas tenaga kerja dalam sector pangan dan sector pertanian sebagai suatu keseluruhan yang secara kasar sama dengan di Jawa. Meskipun terjadi percepatan dalam pertumbuhan produksi beras sejak tahun 1970 dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, sektor pertanian terus membuka pekerjaan, baik di Jawa maupun dalam tingkat yang lebih kecil di luar Jawa. Pertumbuhan kuat sektor ekonomi non-pertanian sesudah tahun 1970 membangkitkan permintaan yang meningkat akan tenaga kerja non-pertanian, sehingga banyak orang meninggalkan sektor pertanian, walaupun ada kebijakan pemerintah mempertinggi keuntungan produksi pertanian.
Penawaran tekhnologi Revolusi Hijau bagi produsen beras sebelum tahun 1970 mungkin telah menciptakan beberapa dampak positif terhadap produktivitas tenaga kerja dalam pertanian pangan, tetapi belum merupakan rangsangan yang mencukupi bagi percepatan yang sebanding tingkat perubahan struktural dan pertumbuhan ekonomi dalam ekonomi Indonesia secara umum.

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Sudah Baca Postingan Yang Ini :

 
Powered by  MyPagerank.Net Add to Technorati Favorites Site Meter site statistics
© Copyright 2007-2008. Aha Blog . All rightsreserved | Aha Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Aha